Berbicara soal Gunungkidul tak bisa lepas dari satu tokoh ini. Ki
Ageng Giring. Bahkan sebenarnya dalam skala yang lebih luas, Ki Ageng
Giring memiliki peran besar dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Siapa dia?
Ki Ageng Giring (mengacu pada Ki Ageng Giring III) adalah salah
seorang keturunan Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup dan
menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan. Desa Sodo
terletak sekitar 6 km arah barat daya kota Wonosari. Beliau adalah
sesepuh Trah Mataram yang sangat dihormati.
Perlu diketahui, gelar ki ageng adalah gelar seseorang tokoh pada
waktu sudah purna tugas kenegaraan, atau setelah lengser dari
jabatannya. Pada masa aktif menjabat biasanya disebut ki gede. Lalu
setelah sepuh, jabatan dialihterimakan kepada keturuannya dan sebagai
sesepuh tokoh tersebut disebut ki ageng. Demikian pula asal nama Ki
Ageng Giring (mengacu kepada Ki Ageng Giring I, II, III dan IV). Makam
Ki Ageng Giring III dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat
karena merupakan pepunden Trah Mataram sebagai penerima wahyu kraton.
Ayahanda Ki Ageng Giring I adalah Prabu Brawijaya IV raja Majapahit,
sedangkan ibunya bernama Retno Mundri. Ia bertemu dengan seorang wali
besar yang bernama Sunan Kalijaga. Ia seperguruan dengan Ki Ageng
Pemanahan. Keduanya adalah para tokoh politik yang mengembara dari
istana untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan Islam
kepada penduduk sekitar. Perlu diketahui, bahwa setelah hancurnya
kerajaan Majapahit, putra-putri Prabu Brawijaya menyebar ke berbagai
wilayah di tanah Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok. Di tempatnya
masing-masing, mereka berikhtiar lahir batin untuk mendapatkan kembali
tahta ayahanda beliau yang telah hilang. Keyakinan bahwa wahyu kraton
akan turun kepada putra yang memiliki kecakapan lahir batin ini sangat
kuat menancap ke dalam relung jiwa para trah darah biru ini, di
antaranya adalah Ki Ageng Giring (I).
Ki Ageng Giring berjalan jauh memasuki rerimbunan pohon, hutan dan
semak belukar. Sungai, gunung dan gua ditempuhnya tak kenal lelah.
Hingga pilihannya jatuh pada daerah yang datar dengan pemandangan
perbukitan dan sungai-sungainya yang jernih. Di dekat sebuah mata air ia
mendirikan gubug peristirahatannya. Setiap hari berdoa bermunajat
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapatkan ketentraman lahir batin
dengan seluruh anak cucu keturunan beserta para pengikutnya. Meskipun
hanya sebesar lidi, atau Sodo, ia tetap memiliki pengharapan agar
mendapat anugerah yang agung dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia mengajarkan pertanian, menanam pohon kelapa dan menderesnya,
membuat minuman legen dan merajut kain. Ia juga mengajari penduduk
mengalirkan air sungai untuk mengaliri persawahan dari sungai yang
airnya jernih. Ki Ageng Giring juga mengajarkan untuk menanam banyak
pohon kelapa yang sangat besar manfaatnya untuk kehidupan penduduk waktu
itu. Kehidupan berlangsung damai hingga Ki Ageng Giring I wafat dan
digantikan kedudukannya oleh putranya, Ki Ageng Giring II dan Ki Ageng
Giring II pun wafat digantikan oleh putranya yang kita kisahkan di sini
yakni Ki Ageng Giring III. Pada masa Ki Ageng Giring III inilah Paliyan
menjadi kisah menarik karena berbagai hal baik natural maupun
supranatural.
Ki Ageng Giring III menikah dengan Nyi Talang Warih melahirkan dari
pernikahan tersebut dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng
Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV. Isyarat akan
turunnya wahyu Kraton Mataram di perbukitan kidul itu atas petunjuk
Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual yang mampu melihat dengan
pandangan lahir batin atas suatu persoalan masyarakat. Oleh Sunan
Kalijaga, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai
santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga
negeri. Untuk mengupas keterkaitan kisah ini, tidak bisa lepas dari
perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Kraton
Pajang.
Pada saat itu, Ki Ageng Pemanahan masih lingkungan di Kraton Pajang
di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Alkisah, setelah
kemenangan Ki Ageng Pemanahan menaklukkan Aryo Penangsang di Jipang
Panolan, belum mendapatkan hadiah dari sultan sebagaimana dijanjikan
dalam sayembara, bahwa barang siapa yang bisa mengalahkan Aryo
Penangsang akan mendapat hadiah tanah perdikan yang luas. Ki Penjawi
sudah diberi hadiah tanah Pati (Jawa Tengah), sementara Ki Ageng
Pemanahan yang sebenarnya paling berhak malah belum mendapatkan haknya.
Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana.
Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki Ageng Giring III, di daerah
Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa
sekaligus penyadab nira kelapa. Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga
dawuh bahwa kelak wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan
selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu itu akan turun,
Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk
bertanya kepada Guru.
Oleh Sang Guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat
di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang
berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang
Lampir, wilayah Panggang, Gunungkidul. Adapun Ki Ageng Giring yang
tinggal di daerah Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut
kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang
menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang
secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha
Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.
Selama bertahun-tahun pohon kelapa itu dirawat dan dijaga Ki Ageng
Giring di pekarangan rumahnya, hingga menjadi tinggi dan besar. Namun Ki
Ageng merasa heran pohon kelapa itu tidak juga berbuah, sebagaimana
yang pernah diisyaratkan oleh gurunya, Sunan Kalijaga. Namun Ki Ageng
tidak pernah ragu sedikit pun, kesabaran dan ketekunannya dalam ibadah
diperkuat dan terus menjalankan laku prihatin sebagaimana tuntutan
ajaran Islam, hingga suatu ketika pohon kelapa itu muncul degan satu
biji saja dan beliau mendapatkan mimpi yang aneh.
Menurut mimpi itu, Ki Ageng harus segera memetik satu-satunya buah
kelapa yang masih muda itu dan meminum airnya saendegan atau sekali
teguk agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian yang utuh.
Oleh karena itu, Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu
agar cukup haus sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan
tersebut dengan sekali minum.
Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki
Ageng Pemanahan datang dari Kembang Lampir dengan maksud untuk
silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng Giring rupanya
tidak ada di rumah. Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan
melihat buah degan di dapur. Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan
memaras degan itu dan meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan
sekali teguk. Ia merasa tidak perlu meminta izin karena ia yakin
kedekatan persaudaraan dengan sahabatnya itu.
Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia
langsung menuju dapur bermaksud meminum degannya. Ternyata didapati
degan sudah dibelahdan isinya sudah habis. Ia mendapati sang sahabat, Ki
Ageng Pemanahan sedang bersantai di depan rumah. Dalam berbagai pentas
kethoprak rakyat, dilukiskan dengan dialog sebagai berikut:
“Lo Adi Pemanahan? Kapan tiba di gubugku ini, Di?” tanyanya sambil merangkul melepas rindu kepada sahabatnya.
“Baru saja Kakang, sudah lama aku tidak berkunjung ke sini, bagaimana
kabar Kakang Giring?” kata Ki Ageng Pemanahan. “Kakang, karena kehausan
dari perjalanan jauh, eh sampeyan dan mbakyu tidak ada. Aku langsung
njujug pawon dan meminum degan yang ada di babragan milik Kakang, aku
mohon maaf sebelumnya Kakang”, lanjut Pemanahan.
Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Semestinya Ki Ageng Giring berhak
marah, namun seorang yang memiliki kualitas ruhani dan kepasrahan jiwa
tidaklah perlu marah. Beliau sudah lama olah jiwa dengan meper hawa
nepsu. Betapapun dia menginginkan wahyu itu jatuh kepada dirinya, namun
Tuhan bisa berkata lain. Ini bagian takdir yang harus dilakoninya. Ia
ingat betapa Ki Ageng Selo di Purwodadi dulu sangat ingin mendapatkan
wahyu kraton hingga berpuasa dan menjalankan laku batin dengan sangat
keras selama puluhan tahun. Namun tiba-tiba seorang pemuda yang baru
saja mengabdi padanya sebagai seorang murid, yang tidak pernah meminta
dan ingin menjadi seorang raja, justru mendapatkan karunia dari Tuhan
sebuah mimpi yang menunjukkan dirinya akan menjadi sesembahan orang
setanah Jawa. Pemuda itu bernama Joko Tingkir. Ki Ageng Selo hendak
marah, hingga ia berpikir untuk membunuh saja anak kemarin sore itu.
Namun, Ki Ageng cepat menahan diri melawan takdir. Akhirnya Ki Ageng
Selo pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan ridha dengan Joko Tingkir.
“Ada apa Kakang kok tampak tidak berkenan. Maafkan atas kelancanganku”. Kata Pemanahan terbata-bata.
“Ketiwasan Adi!”, sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan kecewa
berat. “Sebenarnya Adi, degan tersebut merupakan wahyu yang telah aku
upadi dengan tapa brata yang sulit untuk mendapatkan kemuliaan bagi anak
cucuku kelak di kemudian hari”, ia menegaskan. Ia kemudian menceritakan
mengenai ‘wahyu gagak emprit’ yang diperolehnya berwujud degan
tersebut. Dengan besar hati akhirnya ia berkata, “Adi, barangkali ini
semua memang sudah menjadi titah Gusti, sehingga aku harus rela anak
cucumulah kelak yang akan menjadi penguasa tanah Jawa ini. Namun Adi,
apabila engkau tidak berkeberatan izinkan juga anak cucuku setelah
keturunan ke tujuh darimu juga ikut nunut mukti.”
Ki Ageng Pemanahan kemudian menjawab, “Aduh Kakang Giring aku minta
maaf, karena ketidaktahuanku aku menjadi penghalang kemuliaan anak
cucumu. Akan tetapi barangkali ini memang sudah garising pepesthen.
Namun demikian, aku rela dengan permintaan Kakang agar setelah
keturunanku yang ketujuh nanti anak cucu Kakang ikut mukti wibawa. Dan
untuk itu Kakang, apabila kita kelak mempunyai anak kuusulkan agar kita
berbesanan sebagai jalan tengah”. Akhirnya kedua sahabat tersebut
bersepakat.
Ki Ageng Giring pasrah dan memupus takdir, bahwa Ki Pemanahan rupanya
lebih unggul dalam kualitas ruhani sehingga dipilih Tuhan Yang
Menguasai Alam Semesta untuk menjadi bapak bagi raja-raja Jawa. Namun
demikian, Ki Ageng mencoba menyampaikan maksud hatinya kepada Ki Ageng
Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja
di Mataram. Ki Ageng Pemanahan yang maqam jiwanya sudah ngerti
sadurunge winarah pun juga nglenggana, memiliki keikhlasan yang tinggi.
Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring
akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang
ketujuh.
Bagi Ki Ageng Giring, kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah,
tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi
ketujuh. Setelah perginya Ki Ageng Pemanahan dari rumahnya, Ki Ageng
tidak bisa menyembunyikan masygul hatinya. Ia banyak merenung mupus
takdir di pinggir sungai, yang kini dikenal masyarakat dengan nama Kali
Gowang. Nama Kali Gowang, karena hatinya lagi lagi terluka, gowang,
kecewa, teriris-iris atas kegagalannya memperoleh wahyu Mataram. Setelah
kegagalan itu, Ki Ageng Giring semakin banyak beribadah kepada Allah
SWT dan tak lama kemudian kesehatannya mulai rapuh lalu dimakamkan di
dekat rumah beliau.
Kisah selanjutnya adalah kembalinya Ki Ageng Pemanahan ke Kraton
Pajang, nagih janji kepada Sultan Hadiwijaya dengan diantar oleh Sunan
Kalijaga. Kisah ini akan dipaparkan lebih jauh pada bagian Petilasan
Kembang Lampir.
Kisah Ki Ageng Giring ini menjadi sangat khas Jawa. Betapapun
membuktikan nasab hingga 7 turunan tidaklah mudah. Apalagi intrik dan
campur tangan politik Jawa pada kurun waktu itu sangat keras. Kerajaan
Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, dari Pleret ke
Kartasura dan akhirnya dari Kartasura ke Surakarta. Kita hanya
mengetahui bahwa Kerajaan Mataram kemudian didirikan oleh Danang
Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan yang bergelar Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak,
Panembahan Sedo Krapyak menurunkan Raden Mas Rangsang yang kita kenal
dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mencapai puncak keemasannya
secara kewilayahan, keprajuritan, keagamaan, sosial budaya dan ekonomi.
Namun pasca Sultan Agung, Mataram benar-benar harus berjuang
mempertahankan eksistensinya karena banyak intrik baik internal maupun
eksternal berupa kedatangan penjajah.
Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung,
termasuk pembuktian bahwa Puger memang keturunan Giring. Penulis babad
ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu
Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri
Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan
Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat
mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat
menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke
Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah
kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi
anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan
menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.
Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang
ke-7 keturunan Ki Ageng Giringlah yang menjadi raja, meskipun silsilah
itu diambil dari garis perempuan. Paku Buwono I adalah raja yang
berdarah Giring.
Dalam kompleks makam Sunan Giring juga terdapat masjid, padepokan Ki
Ageng Giring, Sendang, pohon yang berusia seusia makam. Setelah peziarah
memasuki pintu gerbang mereka akan melewati makam para pengikut Ki
Ageng Giring III kini juga menjadi pemakaman warga. Makam Ki Ageng
Giring sendiri berada di dalam tembok yang dibangun pada masa Sri Sultan
Hamengku Buwono IX.
Kali Gowang yang mengalir di desa Giring sampai saat ini menjadi
tumpuan warga desa Giring, Mulusan, Karangasem dan desa Sodo. Terlebih
pada setiap musim kemarau tiba. Sungai ini memiliki keterkaitan erat
dengan perjuangan Ki Ageng Giring. Secara ekologis Ki Ageng Giring
terbukti mengajarkan simbiosis mutualisme antara warga dengan lingkungan
sekitarnya. Airnya sangat jernih dan tak pernah kering, mengalir sampai
ke laut selatan.
Selain airnya yang tak pernah kering, panorama kawasan kali Gowang
juga amat indah dan alami sehingga banyak orang yang merasa teduh dan
nyaman berada di tempat ini. Karena keberadaan makam Ki Ageng Giring
ini, Desa Sodo memperoleh predikat sebagai desa wisata religi. Setiap
hari tertentu di tempat ini masyarakat sekitar sering melakukan berbagai
macam ritual budaya yang turun-temurun dilakukan dari dahulu kala.
Yaitu setiap hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa
Giring, mengadakan malam tirakatan dan pada pagi harinya, Jum’at Kliwon,
melakukan sedekah untuk warga miskin di balai desa tempat upacara.
Masih di dalam kompleks makam, terdapat pendapa Padepokan Makam Ki
Ageng Giring III, sendang dan pohon beringin yang sudah berusia seusia
makam. Padepokan ini sering digunakan oleh masyarakat sekitar guna
melakukan tirakatan, mujahadah, doa bersama, sarasehan-sarasehan
kebudayaan, pengajian haul, menerima kunjungan pejabat atau pun kegiatan
sosial lain.
Kamis, 04 Februari 2016
Home »
» Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul
Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul : Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul
Rating : 100% based on 999999 ratings. 10 user reviews.
Ditulis Oleh habib syech
Semoga informasi mengenai Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
Judul : Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul
Rating : 100% based on 999999 ratings. 10 user reviews.
Ditulis Oleh habib syech
Semoga informasi mengenai Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.
wis dadi ya
BalasHapus